Pancurajipost.com - Kuburan tua Suku Dayak Benuaq di Muara Nayan, Kutai Barat, adalah situs bersejarah yang mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Dayak Benuaq.
Dengan wadah seperti Tempelaq, Lungun, dan Klereng, serta ritual seperti "Kwangkai", kuburan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebagai simbol hubungan harmonis antara manusia, leluhur, dan alam gaib.
Pelestarian situs ini penting untuk menjaga identitas budaya Dayak Benuaq di tengah tantangan modernisasi, dengan dukungan dari komunitas lokal dan pemerintah daerah.
![]() |
Kuburan tua Suku Dayak Benuaq |
Latar Belakang Suku Dayak Benuaq di Muara Nayan
Suku Dayak Benuaq adalah salah satu kelompok etnis asli Kalimantan yang mendiami wilayah Kutai Barat, termasuk Muara Nayan, yang terletak di Kecamatan Muara Pahu.
Mereka dikenal memiliki tradisi dan kepercayaan yang kuat terhadap leluhur, yang tercermin dalam praktik pemakaman dan ritual kematian seperti "Kwangkai".
![]() |
Suku Dayak Benuaq Foto (IG @pilarbudaya) |
Muara Nayan adalah salah satu desa tempat komunitas Dayak Benuaq tinggal, dan kuburan tua di wilayah ini menjadi bukti sejarah keberadaan mereka yang telah menetap sejak lama.
Menurut etnografi, Dayak Benuaq di Muara Nayan kemungkinan berasal dari migrasi bertahap dari Kalimantan Tengah, dengan pengaruh asimilasi dari suku-suku seperti Lawangan, Teboyan, atau Dusun, yang menghasilkan dialek dan tradisi khas.
Jenis Kuburan Tua dan Strukturnya
Kuburan tua Suku Dayak Benuaq di Muara Nayan mencakup beberapa bentuk wadah pemakaman yang khas, yang mencerminkan kearifan lokal dan kepercayaan animisme serta penghormatan terhadap arwah leluhur. Beberapa jenis yang ditemukan meliputi:
Tempelaq
Tempelaq (Garai) adalah tempat pemakaman yang dibuat diatas permukaan tanah berbentuk kotak ulin (kayu besi) berukir yang digunakan untuk menyimpan tulang-belulang leluhur setelah ritual "Kwangkai".
Ritual ini melibatkan pembongkaran kubur lama (ketika tulang sudah kering) untuk dipindahkan ke Tempelaq sebagai bagian dari upacara adat kematian.
Tempelaq diukir dengan motif khas Dayak, seperti burung enggang atau anggrek hutan, yang melambangkan hubungan dengan alam dan roh leluhur.
Proses pembuatan Tempelaq melibatkan keahlian tinggi dan dianggap sakral, karena wadah ini dipercaya menjadi tempat peristirahatan terakhir arwah yang masih memiliki pengaruh di dunia nyata.
Lungun
![]() |
Lungun |
Lungun digunakan untuk menyimpan jasad almarhum segera setelah kematian, sebelum dipindahkan ke Tempelaq dalam ritual "Kwangkai".
Proses pembuatan Lungun melibatkan kerja sama komunal, di mana warga desa membantu mencari kayu dan membuat peti sebagai bentuk solidaritas ("sempekat").
Lungun biasanya dimasukkan ke rumah melalui tangga khusus yang disebut "tangga mayat" selama prosesi adat kematian.
Klereng
![]() |
Ukiran dan peti Kuburan tua Suku Dayak Benuaq |
Kuburan tua ini biasanya terletak di lokasi khusus, seperti di dekat rumah panjang (Lamin) atau di area pemakaman adat yang dianggap sakral.
Salah satu contoh lokasi adalah di sekitar Lou Tolan, rumah panjang berusia lebih dari 200 tahun di Kampung Lambing, Kecamatan Muara Lawa, yang tidak jauh dari Muara Nayan.
Di sisi selatan Lou Tolan, terdapat pemakaman tua dengan Tempelaq, Lungun, dan Klereng, yang menjadi bukti pelestarian budaya Dayak Benuaq.
Ritual Kematian dan Makna Spiritual
Kuburan tua di Muara Nayan erat kaitannya dengan ritual kematian Suku Dayak Benuaq, terutama upacara "Kwangkai", yang merupakan puncak adat kematian. Berikut adalah penjelasan rinci tentang ritual ini:
Upacara Kwangkai
![]() |
upacara adat kuwangkai |
Tujuannya adalah untuk menghormati arwah leluhur agar tetap memberikan perlindungan dan keberkahan kepada keluarga yang ditinggalkan serta sebagai upacara adat balas jasa dan memberikan penghormatan terakhir kepada keluarga atau leluhur yang telah meninggal dunia supaya memperoleh tempat yang paling layak di surga.
Ritual ini sering digabung dengan upacara "Kenyau", yang merupakan prosesi awal kematian, sehingga disebut "Kenyau Kwangkai".
Dalam ritual ini, keluarga membawa makanan untuk arwah ("kelangkakng") ke kuburan, dengan kepercayaan bahwa makanan tersebut akan bertahan lama di alam roh ("Lumut").
Prosesi ini melibatkan dukun adat ("beliatn") yang menghubungkan dunia nyata dengan roh leluhur, meminta keselamatan, rezeki, dan perlindungan dari musibah.
Kepercayaan Animisme
Meskipun banyak Dayak Benuaq yang telah memeluk agama Kristen (Protestan atau Katolik) sejak abad ke-19, kepercayaan animisme tetap kuat.
Kuburan tua dianggap sebagai tempat suci di mana arwah leluhur berdiam, dan ritual seperti "Kwangkai" atau "Belian Bawo" (ritual pengobatan) dilakukan untuk menjaga harmoni dengan alam gaib.
Tanda-tanda kematian, seperti "gegulag" (perilaku aneh sebelum meninggal), juga dipercaya sebagai sinyal dari roh leluhur, yang sering diinterpretasikan oleh dukun adat.
Signifikansi Budaya dan Pelestarian
Kuburan tua di Muara Nayan bukan hanya tempat pemakaman, tetapi juga simbol identitas budaya Dayak Benuaq. Berikut beberapa poin penting terkait signifikansinya:
Warisan Leluhur
Kuburan tua mencerminkan sejarah panjang Dayak Benuaq di Muara Nayan, yang diyakini telah menetap di wilayah ini sejak sebelum berdirinya Kerajaan Kutai pada abad ke-4 M.
Legenda tentang Ningkah Olo, leluhur yang pertama kali menginjakkan kaki di Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling), memperkuat klaim bahwa Dayak Benuaq adalah penduduk asli wilayah ini.
Pemakaman tua ini juga menunjukkan hubungan kekerabatan dengan suku-suku lain, seperti Dayak Tunjung, Lawangan, dan Paser, yang terlihat dari kesamaan adat dan bahasa.
Pelestarian Cagar Budaya
Kuburan tua, bersama dengan Lou Tolan, telah diakui sebagai bagian dari situs cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur sejak 2012, diperkuat oleh Peraturan Bupati Kutai Barat Nomor 08 Tahun 2013.
Ini menunjukkan upaya pelestarian tradisi Dayak Benuaq di tengah modernisasi dan ancaman perubahan lingkungan akibat ekstraksi sumber daya.
Lokasi pemakaman tua di dekat Danau Tolan, yang dulunya merupakan anak Sungai Kedang Pahu, juga memiliki nilai sejarah karena danau ini digunakan untuk aktivitas sehari-hari masyarakat adat, seperti transportasi dan mencari ikan.
Solidaritas Komunal
Proses pembuatan Lungun dan ritual "Kwangkai" melibatkan kerja sama warga desa, yang disebut "sempekat". Ini mencerminkan nilai solidaritas dan gotong royong yang masih kuat dalam budaya Dayak Benuaq.
Tantangan dan Ancaman
Kuburan tua di Muara Nayan menghadapi tantangan pelestarian akibat modernisasi, perubahan lingkungan, dan pengaruh agama baru.
Banyak Dayak Benuaq yang telah beralih ke Kristen atau Islam, yang kadang menyebabkan sebagian tradisi animisme, termasuk ritual "Kwangkai", mulai ditinggalkan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur dan ekstraksi sumber daya di Kutai Barat dapat mengancam situs-situs budaya seperti kuburan tua ini.
Namun, upaya pelestarian melalui organisasi seperti Sempekat Tonyoi Benuaq dan Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) terus dilakukan untuk menjaga warisan ini.
Posting Komentar untuk "Situs Bersejarah Kuburan Tua Suku Dayak Benuaq"